Proses SKK Kontruksi 1 HARI TERBIT setelah ujian, SBU Jasa Konstruksi 7 HARI TERBIT, ISO 37001 Anti Penyapan 14 HARI TERBIT, IUJP 1 BULAN TERBIT, Bikin PT cuma 4 HARI langsung bisa transaksi..... silakan proses disini TELP. 021-3885-9029

Pandemi Covid-19, Pengembangan EBT Tetap Berjalan

Diterbitkan pada Hari Rabu, 17 Juni 2020

Pandemi Covid-19, Pengembangan EBT Tetap Berjalan

Jakarta, Portonews.com – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ingin mengembangkan lemari pendingin di sektor perikanan dengan memanfaatkan Energi Baru Baru Terbarukan (EBT) yakni Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris Yahya mengatakan, hal tersebut bertujuan guna menunjang kegiatan perekonomian berbasis kemaritiman dengan memanfaatkan EBT yang dinilai dapat menghemat biaya.

“Sekarang sedang berproses untuk membuat pilot project dengan KKP untuk mendukung PLTS cold storage. Sebab, selama ini masih mengandalkan dari PLN,” kata Harris dalam keterangan resminya, Selasa (16/6).

Ia menambahkan, saat ini Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) tengah menyusun program pengembangan klaster ekonomi maritim yang ditargetkan selesai Agustus 2020 mendatang.

Yakni, dengan melakukan identifikasi potensi pengembangan EBT hingga pembahasan bentuk usaha penyediaan tenaga listrik.

Pasalnya, cold storage adalah salah satu yang paling potensial sektor kelautan dan perikanan. Makanya, pemerintah ingin menggarap dengan memanfaatkan energi surya.

Menurut data yang dihimpun Kementerian ESDM, dari enam perusahaan yang memiliki cold storage dengan total kapasitas 3.850 ton, setidaknya membutuhkan aliran setrum listrik sebesar 1.721 kilo Volt Ampere (kVA).

“Semoga benefit EBT ini bisa meningkatkan kesejahteraan dan akses listrik kepada masyarakat,” tuturnya.

Adapun, lanjutnya, potensi lain yang dapat dikembangkan dalam skala mikro adalah PLTS Atap. Nyatanya, trobosan ini dinilai semakin mudah dilaksanakan lantaran pemerintah telah memberi kemudahan mekanisme pembangunan pembangkit listrik tersebut.

“Di Indonesia mekanismenya sangat sederhana. Hanya memasang meteran Solar PV Rooftop, ada meteran ekspor-impor, selisih ekspor impor itulah yang dibayar oleh pelanggan,” ungkap Harris.

Pihaknya mengakui bahwa minat masyarakat masih tinggi terhadap penggunaan PLTS Atap Surya.

Tercatat, pada Desember 2019, kata Harris, setidaknya ada lebih dari pelanggan pasang baru PLTS Atap dari total pelanggan 1.673. Jumlah ini pelanggan terhitung dalam kurun waktu 1 tahun, setelah peraturan PLTSA Atap diterbitkan pada Desember 2018 silam.

 

Era New Normal

Pemerintah memandang bahwa akselerasi EBT di Indonesia memungkinkan untuk dipercepat di tengah pandemi Covid-19. Pihaknya menargetkan, pada 2024 dapat tercapai tambahan kapasitas pembangkit EBT sekitar 9.000 Mega Watt (MW).

Jumlah tersebut meliputi, kapasitas pembangkit hidro sebesar 3.900 MW, bioenergi 1.200 MW, panas bumi 1.000 MW, dan panel surya 2.000 MW.

“Satu kondisi yang memperlihatkan bahwa kita saat ini fokus mengembangkan EBT termasuk yang intermiten. Solar PV atau panel surya kalau kita lihat secara global harganya semakin turun, biaya implementasinya juga semakin murah,” tukasnya.

Akan tetapi, Lanjut Harris, selama ini pengembangan EBT di Indonesia belum optimal karena mengacu pada RUPTL PLN. Padahal, di luar dari apa yang sudah direncanakan oleh PLN, ada potensi lain yang bisa dikembangkan.

Maka dari itu, ia berpendapat bahwa pengembangan EBT harus dilakukan secara komersial dan nonkomersial.

Seperti di Kalimantan Utara yang potensi EBT nya sangat besar,  jika dikembangkan bisa mencapai 9.000 MW hanya dengan mengimplementasikan PLTA secara cash cap di dalam satu aliran sungai.

Reposted : Salma, 17/06/20